A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu
umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat
agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan
akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam
Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari
orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari
orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut
pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam
Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala)
tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang dating padanya dan juga karena
kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri,
mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah
meninggal, maka jadialah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh
DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi
danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas
pekuburan sesudah pemakaman awal surat
albaqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama,
hanya yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa
beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca
qulhuwallahu ahad (surat
al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang
telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang
mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz
as-salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca
qulhuwallahu ahad (surat
al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang
telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang
mati disitu”.
(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan
Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah
membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud,
Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau
bersabda: “Bacakanlah surat
yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya
Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
“Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al
falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka
sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar
sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala
ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah
hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan
pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya
akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah
aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu Taymiyah :
“sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat
dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan seumpamanya”. (yas alunka
fiddin wal hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk
fatawa jilid 24 pada mukasurat 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang
yang bertahlil, bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut
kepada simayat muslim lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai
kepada si mayat dan juga tasbih,takbir dan lain-lain zikir sekiranya
disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.
Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan
ini.
Di
atas pula adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juzuk 24 pada
mukasurat 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70.000 kali
dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan
itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu Qayyim al-Jauziyah:
“sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada
mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia.
Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara
sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa
dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya
Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an
disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad
ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami
Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin
al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang
lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping
kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama
: “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku
Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata :
“Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi
menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk
disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad
kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”.
Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada
imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang
Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah
(terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah
berkata : Ya, mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin
al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar
dibacakan disamping kepalanya permulaan surat
al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar
berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata :
“Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab
ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain
Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh madzab
hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah
atau membaca al-qur’an atau selain demikian daripada macam-macam kebaikan,
boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan
sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-orang
anshar jika ada diantara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong
ke kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingnaya”. (ucapan imam
sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal.
13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum
: “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah
kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama
mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka
pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa
pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad
al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah
meninggak hukumnya boleh (Malaysia
: Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam
Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang
tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi :
“telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati,
maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan
istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh
hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”.
(Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan
ulama ahlusunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang
dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya
dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafei
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat
penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan
al-qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafei
dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal
dan juga Ashab Syafei berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik
adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini
untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata
Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafei menurut qaul yang masyhur,
pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai
apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan
seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh
berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka
kebolehan berdoa denagn sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih
utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam
madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar
yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang
kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya
Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang
masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu
tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan
itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid
IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai
pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan
dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an
yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya
pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin
qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan
pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu
kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya,
maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala
bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih
terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi
pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar
disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala
sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian
ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut
Tahlibin Jilid III/24).
D. Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah
pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali
tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu
mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru
berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang
sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a
intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu
hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun
amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang
mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu
kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang
yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan
hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi
terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari
orang lain.
2. Firman Allah surat
an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada
dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang
didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap
digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala.
Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua
jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia
dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat,
melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik
untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka
banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan
mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka
itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama
golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab
paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin
kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan
doa kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT
menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta
usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam
iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada
yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya
dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya
kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu
hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT
hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki
kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun usaha orang lain, maka itu adalah
milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya
kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya
sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq”
yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang
kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum
Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias
mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada
syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad
SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada
dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang
didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra.
Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan)
hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan
mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan
yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra
sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang
lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu
mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu
dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap
orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus
hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam
Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada seseorang
itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun
dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang
tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran
ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat
semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil
baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat
tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali
dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan
akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat”
menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu
artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”.
Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia
akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang
akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan
bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang
kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya
kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan
atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali
terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala
terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi
sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang
mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut
dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab
kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab
amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku argumentasi Ulama
syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman,
halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi Ummat
Admin
http://salafytobat.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar